Sabtu, 05 Maret 2011

HUKUM PERIKATAN

Definisi Hukum Perikatan

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis ”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang
terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hokum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).

Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.

Disamping kelima asas yang telah diuraikan diatas, dalam Loka karya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 – 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional.[20] Kedelapan.

Dasar hukum

Dasar hukum Pasal 1233 KUHPdt “tiap-tiap perikatan dilahirkan karena persetujuan baik karena UU”.

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :

1. Perikatan yang timbul dari persetujuan.
2. Perikatan yang timbul dari undang – undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian

Asas-asas Hukum Perikatan Nasional

asas tersebut adalah sebagai berikut:

1.Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.

2.Asas Persamaan Hukum

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

3.Asas Kesimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

4.Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang- undang bagi yang membuatnya.

5.Asas Moralitas

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

6.Asas Kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

7.Asas Kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

8.Asas Perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhanasas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.

Macam – macam perikatan :

a. perikatan bersyarat
b. perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
c. perikatan yang membolehkan memilih
d. perikatan tanggung menanggung
e. perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
f. perikatan tentang penetapan hukuman
B. Unsur-unsur perikatan

1. Hubungan hukum (legal relationship)
2. Pihak-pihak yaitu 2 atau lebih pihak (parties)
3. Harta kekayaan (patrimonial)
4. Prestasi (performance)

1. Hubungan hukum

* Hubungan yang diatur oleh hukum;
* Hubungan yang di dalamnya terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di lain pihak;
* Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, dapat dituntut pemenuhannya

Hubungan hukum dapat terjadi karena :

1. Kehendak pihak-pihak (persetujuan/perjanjian)
2. Sebagai perintah peraturan perUUan

Dasar hukum Pasal 1233 KUHPdt “tiap-tiap perikatan dilahirkan karena persetujuan baik karena UU”.

Contoh A berjanji menjual sepeda motor kepada B Akibat dari janji, A wajib menyerahkan sepeda miliknya kepada B dan berhak menuntut harganya sedangkan B wajib menyerahkan harga sepeda motor itu dan berhak untuk menuntut penyerahan sepeda.

Dalam contoh diatas apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban maka hukum “memaksakan” agar kewajiban-kewajiban tadi dipenuhi.

Perlu dicatat tidak semua hubungan hukum dapat disebut perikatan. Contoh kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan. Artinya adalah setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan.

2. Pihak-pihak (subjek perikatan)

1. Debitur adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi atau Pihak yang memiliki utang (kewajiban)
2. Kreditur adalah Pihak yang berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi atau pihak yang memiliki piutang (hak)

Pihak-pihak (debitur kreditur) tidak harus “orang” tapi juga dapat berbentuk “badan”, sepanjang ia cakap melakukan perbuatan hukum.

Pihak-pihak (debitur kreditur) dalam perikatan dapat diganti. Dalam hal penggantian debitur harus sepengatahuan dan persetujuan kreditur, untuk itu debitur harus dikenal oleh kreditur agar gampang menagihnya misalnya pengambilalihan hutang (schuldoverneming) sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak.

Seorang kreditur mungkin pula mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang kwalitatif (kwalitatiev persoonlijke recht), misalnya A menjual sebuah mobil kepada B, mobil mana telah diasuransikan kepada perusahaan asuransi. Dengan terjadinya peralihan hak milik dari A kepada B maka B sekaligus pada saat yang sama B mengambil alih juga hak asuransi yang telah melekat pada mobil tersebut. Perikatan yang demikian dinamakan perikatan kwalitatif dan hak yang terjadi dari perikatan demikian dinamakan hak kwalitatif.

Selanjutnya seorang debitur dapat terjadi karena perikatan kwalitatif sehingga kewajiban memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban kwalitatif, misalnya seorang pemilik baru dari sebuah rumah yang oleh pemilik sebelumnya diikatkan dalam suatu perjanjian sewa menyewa, terikat untuk meneruskan perjanjian sewa menyewa.

Dalam suatu perjanjian orang tidak dapat secara umum mengatakan siapa yang berkedudukan sebagai kreditur/debitur seperti pada perjanjian timbal balik (contoh jual beli). Si penjual adalah kreditur terhadap uang harga barang yang diperjual belikan, tetapi ia berkedudukan sebagai debitur terhadap barang (objek prestasi) yang perjualbelikan. Demikian sebaliknya si pembeli berkedudukan sebagai debitur terhadap harga barang kreditur atas objek prestasi penjual yaitu barang yang diperjualbelikan.

3. Harta kekayaan

Harta kekayaan sebagai kriteria dari adanya sebuah perikatan. Tentang harta kekayaan sebagai ukurannya (kriteria) ada 2 pandangan yaitu :

1. Pandangan klasik : Suatu hubungan dapat dikategorikan sebagai perikatan jika hubungan tersebut dapat dinilai dengan sejumlah uang
2. Pandangan baru : Sekalipun suatu hubungan tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang, tetapi jika masyarakat atau rasa keadilan menghendaki hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum akan meletakkan akibat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan

4. Prestasi (objek perikatan)

Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi merupakan objek perikatan. Dalam ilmu hukum kewajiban adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat kontraktual/perjanjian (perikatan). Hak dan kewajiban dapat timbul apabila terjadi hubungan antara 2 pihak yang berdasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian (perikatan). Jadi selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada beban kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya (prestasi).

Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat adanya kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan hukum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum yang disebut wajib hukum (rechtsplicht) misalnya mempunyai sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor, dll

Bentuk-bentuk prestasi (Pasal 1234 KUHPerdata) :

1. Memberikan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu

Memberikan sesuatu misalnya pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai (menyewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak. Berbuat sesuatu misalnya membangun rumah. Tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika menjual apotiknya, untuk tidak menjalankan usaha apotik dalam daerah yang sama. Ketiga prestasi diatas merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur.

Ketiga prestasi diatas mengandung 2 unsur penting :

1. Berhubungan dengan persoalan tanggungjawab hukum atas pelaksanaan prestasi tsb oleh pihak yang berkewajiban (schuld).
2. Berhubungan dengan pertanggungjawaban pemenuhan tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban utk memenuhi kewajiban tsb (Haftung)

Syarat-syarat prestasi :

1. Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan;
2. Objeknya diperkenankan oleh hukum;
3. Dimungkinkan untuk dilaksanakan

Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utang sedangkan haftung adalah kewajiban debitur membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna pelunasan hutangnya apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar hutang tersebut.

Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak menagih hutang piutang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, disamping hak menagih hutang (vorderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar hutangnya maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur sebesar piutangnya pada debitur itu (verhaalsrecht).

C. Tempat pengaturan perikatan

1. Buku III KUHPerdata

Sistematikanya :

a) Bagian umum :

1) Bab I Perikatan pada umumnya

2) Bab II Perikatan yang timbul dari perjanjian

3) Bab III Perikatan yang timbul dari UU

4) Bab IV Hapusnya perikatan

b) Bagian khusus

1) Bab V Jual beli dst …. BAB XVII

2) Bab XVIII Perdamaian

2. Jika ketentuan bagian umum bertentangan dengan ketentuan khusus, maka yang dipakai adalah ketentuan yang khusus.

D. Sistem Hukum Perikatan

Sistem hukum perikatan adalah terbuka. Artinya, KUHPerdata memberikan kemungkinkan bagi setiap orang mengadakan bentuk perjanjian apapun, baik yang telah diatur dalam undang-undang, peraturan khusus maupun perjanjian baru yang belum ada ketentuannya. Sepanjang tidak bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukumnya adalah, jika ketentuan bagian umum bertentangan dengan ketentuan khusus, maka yag dipakai adalah ketentuan yang khusus, misal: perjanjian kos-kosan, perjanjian kredit, dll.

Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya perjanjian yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (tidak ada paksaan, tidak ada keleiruan dan tidak ada penipuan)
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; (dewasa, tidak dibawah pengampu)
3. Suatu hal tertentu (objeknya jelas, ukuran, bentuk dll)
4. Suatu sebab yang halal; (tidak bertentangan dengan ketertiban, hukum/UU dan kesusilaan)

Bagaimana jika Pasal 1320 KUHPerdata tersebut dilanggar ?

Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya yaitu syarat : 1). sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan 2) kecakapan untuk bertindak, tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya (nietig) tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan (vernietigbaar), sedangkan perjanjian yang cacat dalam segi objeknya yaitu : mengenai 3) segi “suatu hal tertentu” atau 4) “suatu sebab yang halal” adalah batal demi hukum.

Artinya adalah jika dalam suatu perjanjian syarat 1 dan 2 dilanggar baru dapat dibatalkan perjanjian tersbeut setelah ada pihak yang merasa dirugikan mengajukan tuntutan permohonan pembatalan ke pengadilan. Dengan demikian perjanjian menjadi tidak sah.

Lain hal jika syarat 3 dan 4 yang dilanggar maka otomatis perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum walaupun tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Maka dapat disimpulkan suatu perjanjian dapat terjadi pembatalan karena :

1. Dapat dibatalkan, karena diminta oleh pihak untuk dibatalkan dengan alas an melanggar syarat 1 dan 2 pasal 1320 KUHPerdata.
2. Batal demi hukum, karena melanggar syarat 3 dan 4 pasal 1320 KUHPerdata

E. Sifat Hukum Perikatan

1. Sebagai hukum pelengkap/terbuka, dalam hal ini jika para pihak membuat ketentuan sendiri, maka para pihak dapat mengesampingkan ketentuan dalam undang-undang.
2. Konsensuil, dalam hal ini dengan tercapainya kata sepakat di antara para pihak, maka perjanjian tersebut telah mengikat.
3. Obligatoir, dalam hal ini sebuah perjanjian hanya menimbulkan kewajiban saja, tidak menimbulkan hak milik. Hak milik baru berpindah atau beralih setelah dilakukannya penyerahan atau levering.

F. Isi Perikatan

Dalam hal ini berkaitan prestasi. Suatu prestasi harus memenuhi syarat-syarat . Adapun syarat-syarat prestasi sebagai berikut :

1. Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan (prestasi tertentu)
2. Dimungkinkan untuk dilaksanakan (prestasi tidak disyaratkan harus mungkin dipenuhi)
3. Objeknya diperkenankan oleh hukum (prestasi yang halal)

Ad. 1. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian mengatur tentang prestasi tertentu yaitu yang ke 3 “hal tertentu” (een bepaalde onderwerp), yang maksudnya tidak lain adalah bahwa objek perikatan yaitu prestasi dan objeknya prestasinya (zaak = benda) harus tertentu. Sedangkan apa yang dimaksud dengan tertentu dalam Pasal 1333 KUHPerdata memberikan penjabarannya lebih lanjut. Disana ditentukan paling tidak, jenis barangnya harus sudah tertentu, sedangkan mengenai jumlahnya asal nantinya dapat ditentukan atau dihitung. Kalau dipenuhi syarat tersebut, maka dianggaplah bahwa objek prestasinya sudah tertentu. Ini berlaku pada perikatan yang lahir dari perjanjian. Sedangkan perikatan yang lahir undang-undang sudah ditentukan dengan pasti prestasinya (sudah tertentu).

Sebagaimana diketahui tentang “tertentu”, tidaklah harus disyaratkan ditentukan secara rinci dalam semua seginya. Bahwa semula prestasi itu “belum tertentu” tidak apa-apa karena syaratnya asal kemudian dapat ditentukan (bepaaldbaar bukan bepaald). Penegasan lebih lanjut yang membuat prestasi menjadi tertentu bisa para pihak itu sendiri, bisa juga pihak ke 3 (Pasal 1465 KUHPerdata), bisa juga keputusan hakim (1356, 1601 KUHPerdata) atau dalam keadaan lain, misalnya pada jual beli dengan ketentuan harga pasar pada saat penyerahan.

Ad. 2. Disini yang paling penting dan yang dapat dipakai sebagai ukuran adalah apakah kreditur itu tahu bahwa debitur tidak bisa memenuhinya ? Kalau kreditur tahu, bahwa itu memang tidak miungkin maka kita boleh menganggap bahwa kreditur tidak memperhitungkan kewajiban prestasi dengan serius (niet ernstig bedoel) dan karenanya perikatan itu batal, demikian ditafisrkan oleh pengadilan-hakim). Lain halnya kalau debitur tidak tahu, bahwa prestasi itu tidak mungkin terpenuhi. Dalam hal—dalam bayangan kreditur—isi perjanjian adalah sesuatu yang mungkin, kemudian ternyata dalam pelaksanaannya adalah tidak mungkin, maka debitur tetap harus bertanggungjawab untuk membayar ganti rugi kepada kreditur.

Ad. 3. Disini berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 ke 4 yaitu suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum (lihat juga Pasal 1337 KUHPerdata). Jika bertentangan dengan ketentuan diatas maka perikatan tersebut batal demi hukum.
Pengertian Wanprestasi :

Yaitu prestasi yang tidak dipenuhi, apabila siberhutang tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan ” wanprestasi ”.
Wanprestasi berasal dari kata Belanda yang berarti prestasi buruk.

Ada 4 bentuk wanprestasi, yaitu;
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
2. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau ada kekeliruan
3. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu (terlambat)
4. Prestasi yang bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam perjanjian

Akibat-akibat wansprestasi

Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni

1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)

Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni

a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;

b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;

c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian

Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.

3. Peralihan Risiko

Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Hapusnya Perikatan :

Pasal 1381
Perikatan Hapus :
Karena pembayaran;
Karena penawaran pembayaran tunai,diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaruan utang; karena perjumpaan utang atau kompensasi;
Karena pencampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terutang;
Karena kebatalan atau pembatalan;

Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
a. Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela;

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

c. Pembaharuan utang;

d. Perjumpaan utang atau kompensasi;

e. Percampuran utang;

f. Pembebasan utang;

g. Musnahnya barang yang terutang;

h. Batal/pembatalan;

i. Berlakunya suatu syarat batal;

j. Lewat waktu.

Dari sepuluh cara hapusnya perikatan di atas undang-undang memberikan kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi utangnya karena tidak mendapat bantuan dari kreditur, untuk melakukan pembayaran utangnya dengan jalan penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan inilah yang lazim dikenal dalam hukum perdata dengan istilah konsinyasi. Konsinyasi berasal dari Bahasa Belanda yaitu dari kata CONSIGNATIE yang berarti “ Penitipan uang atau barang pada pengadilan guna pembayaran satu utang. Penawaran pembayaran yang disusul dengan penitipan pada pengadilan membebaskan debitur asal dilakukan dengan cara-cara yang sah menurut undang-undang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar